Qardhawi , Guru Umat pada Zamannya


Proyek dan Kontribusi Qardhawi


Dari sekitar tujuh puluh enam tahun perjalanan hidup Syaikh Qardhawi (sampai tahun 2002), minimal ada dua hal yang menjadi main stream aktivitas hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya
sebagai seorang intelektual dalam bidang fikih (faqih) dan kedua adalah aktivitasnya yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam menjalani dunia pergeraklan Islam (harakah) dan shahwahIslamiyah. Kita akan mencoba melihat dua proyek besar yang terus menerus digarap oleh Qardhawi dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat.

a.Sebagai Seorang Faqih

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Mesir adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah intelektual Islam. Di kawasan yang pernah disinggahi beberapa orang nabi ini, hampir semua aliran pemikiran dan madzhab keagamaan dapat kita
temukan, baik madzhab fikih, kalam maupun tasawuf. Dalam dunia fikih, di negeri ini hampir seluruh madzhab besar (terutama empat madzhab Sunni), tetap hidup dan berkembang. Tidak heran jika di sana ada beberapa daerah yang dikenal sebagai kawasan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah ataupun Hanbaliyah.

Walaupun demikian, madzhab Imam Syafii adalah madzhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat Mesir, terutama di perkampungan. Secara historis, hal tersebut disebabkan karena Imam Syafi’i pernah tinggal lama di Mesir (sampai meninggal dunia) dan di negeri ini pula beliau melahirkan qaul jadid, yaitu pendapat-pendapat yang sangat berbeda dengan yang pernah difatwakannya semasa di Irak (qaul qadîm).

Dalam dunia tasawuf, sampai saat ini di Mesir masih tumbuh subur berpuluh-puluh tarikat sufi yang di antaranya adalah Ahmadiyah (bukan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad), Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Burhamiyah, ditambah puluhan tarikat lainnya yang merupakan cabang dari lima tarikat besar tersebut. Tentu saja tumbuh subur dan terjaganya
khazanah Islam di Mesir ini tidak dapat dilepaskan dari peranan Al-Azhar yang merupakan pemilik otoritas keagamaan bagi seluruh masyarakat Mesir dan selalu membela ajaran Islam di garis paling depan.

Di kampung halaman tempat lahir dan dibesarkannya Qardhawi sendiri, terdapat beberapa madzhab fikih dan aliran-aliran tarikat yang dianut masyarakat secara turun temurun. Tradisi
ketaatan mereka terhadap madzhab tertentu secara ekstrim, telah menyebabkan mereka hidup statis dan monoton yang sering sekali berubah menjadi sikap fanatik yang tidak dapat dibenarkan oleh Islam, sehingga dalam beribadah, mereka tidak lagi mengikuti al-Quran dan Sunnah atau qaul yang argumentatif dan dapat dipertangungjawabakan. Hal tersebut disebabkan karena kepatuhan mereka adalah semata-mata merupakan kepatuhan terhadap indifidu dan bukan pada kekuatan hujjah yang digunakan.
Kondisi inilah yang membesarkan Qardhawi. Akan tetapi ia masih sangat beruntung, karena meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat yang madzhab centris, ia masih dapat ‘tercerahkan’ dan memiliki arus berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Tentu saja sikap Qardhawi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan dan bantuan para gurunya. Semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah banyak belajar agar dapat hidup berdampingan dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pada tingkat ini pulalah ia mulai belajar untuk mengikuti hujjah dan bukan mengikuti figur, karena ia mengetahui (sesuai perkataan Imam Malik), bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebenaran, meskipun pada perjalanannya, secara tidak disengaja ia melakukan kesalahan. Semua orang
(meskipun seorang ulama besar atau imam madzhab), pendapatnya dapat diterima ataupun ditolak, kecuali Rasulullah saw. Oleh sebab itu, semenjak duduk di tingkat Ibtidaiyah, jika ia mendapatkan gurunya tidak memiliki argumen yang jelas dari al-Quran dan sunnah, ia tidak segan-segan mengkritik dan membantah pendapat gurunya. Melihat sikap kritis Qardhawi kecil ini, ada gurunya yang sangat bangga tetapi ada pula yang merasa ‘jengkel’, sehingga ia pernah diusir dari kelas karenanya.

Sikap seperti ini, semenjak dini telah dibuktikan oleh Qardhawi di tengah-tengah masyarakat, yaitu pada saat ia diminta untuk mengajar ilmu-ilmu agama di sebuah masjid jami’ kampungnya. Saat itu, ia mengajarkan ilmu fikih tetapi yang diajarkannya bukanlah qaul-qaul madzhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk. Ia mengajarkan fikih langsung dari sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah shahihah ditambah dengan fatwa para sahabat. Ia sendiri mengakui bahwa metode pengajaran yang diterapkannya ini diambilnya dari metode yang digunakan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya.

Tentu saja upaya-upaya Qardhawi tersebut mendapatkan penentangan yang sangat kuat dari masyarakat yang selama ini hanya hidup dalam Syafi’iyah cyrcle. Resistensi masyarakat dan para
ulama tua di kampungnya ini mencapai puncaknya dengan sebuah ‘pengadilan’ yang mereka adakan secara khusus untuk meminta pertanggungjawaban Qardhawi. ‘Pengadilan’ tersebut akhirnya berubah bentuk menjadi sebuah forum polemik seru antara Qardhawi muda dengan para ulama madzhab di kampungnya. Pada perdebatan tersebut, ia berhasil meyakinkan para ulama dan masyarakatnya, bahwa ia bukanlah orang yang membenci madzhab, bahkan ia adalah salah seorang pengagum para imam madzhab dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing.

Ia menganjurkan seandainya kita akan mengambil sebuah qaul dari madzhab tertentu, maka ia harus diambil langsung dari qaul pendirinya yang ditulis dalam buku induknya. (seperti al-Um bagi madzhab Syafi’i), karena jika suatu madzhab semakin dekat kepada sumber-sumber utamanya, maka pengikutnya akan semakin toleran, tetapi jika mereka semakin jauh dari sumber aslinya, justru inilah yang selalu menimbulkan fanatisme buta, meskipun mereka mengetahui bahwa pendapat tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat.

Selain itu, sikap toleran yang dimilikinya didapatkan pula dari Ikhwan al-Muslimin, sebuah pergerakan Islam yang membina umat dari berbagai segmen,sehingga ia banyak belajar berbaur dengan mereka yang memiliki faham berbeda memiliki latar belakang pendidikan berbeda.

Sikapnya dalam memperlakukan fikih tersebut berlanjut sampai masa tua. Oleh sebab itu, tidak heran jika pada saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia fikih, ia memilih metode fikihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah), toleransi (tasâmuh), lintas madzhab dan selalu menghendaki kemudahan bagi umat (taisîr), serta mengakses penggalian hukum secara langsung dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang paling kecil seperti masalah lalat yang hingap pada air, sampai masalah yang paling besar seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah
negara’?, atau dari tema yang paling klasik seperti masalah thahârah, sampai yang paling kontemporer seperti masalah demokrasi, HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan pluralisme (ta’addudiyah).

Di dalam ijtihad fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi baru dalam memperlakukan fikih, terutama ketika ia berhadapan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Di antara formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh
jadîd) yang akan dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat. Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan ‘fikih’, tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum-hukum juz’i yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti
persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai al-Fahm (pemahaman). Adapun fikih baru yang berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah fikih terdiri dari:


1. Fikih Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah).

Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan (muwâzanah) adalah sebuah metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat atau antara kebaikan dan keburukan, karena menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen atau yang haram seratus persen. Menurutnya, dengan menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan
untuk mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

2. Fikih realitas (Fiqh Wâqi’î).

Yang dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.

3. Fikih prioritas (Fiqh al-Aulawiyât).

Yang dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagimana mendahulukan ushûl dari furû’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan yang lainnya, ilmu pengethuan sebelum beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad.

4.Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah,

yaitu sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuh hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim yang mengatakan, bahwa prisip utama yang menjadi dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian, segala sesuatu yang di dalamnya mengandung kelaliman, kekejian, kerusakan dan ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah syari’ah.

5. Fikih perubahan (Fiqh al-Tagyîr).

Ia adalah sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakuakn perubahan tersebut.

Selain itu, kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam bidang fikih adalah bagaimana mencairkan kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman. Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan tersebut adalah berhentinya kreativitas umat dalam berijtihad yang merupakan dapur utama kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan umat selau berkembang, terutama setelah terjadinya inovasi-inovasi baru dalam bidang sains dan teknologi, sementara seperti kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan hadits nabi,
sampai kiamat mustahil akan bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan pada prinsip-prinsip utama ajaran Islam.

Menurutnya, melakukan ijtihad adalah merupakan sebuah kewajiban agama kolektif (fardlu kifâyah), artinya pada setiap zaman harus ada seseorang yang mampu dan mau melakukannya, bahkan bagi mereka yang sudah mencapai kemampuan untuk melakukanya, ijtihad adalah merupakan sebuah kewjiban indifidual (fardhu ‘ain)..

Meskipun demikian, menurut Qardhawi, dalam melakukan ijtihad kontemporer, terdapat beberapa kode etik ijtihad yang harus menjadi acuan utama para mujtahid, baik yang berhubungan dengan para mujtahid (sebagai subjek) maupun yang berhubungan dengan tema persoalan (objek). Kode etik yang berkenaan dengan para mujtahid antara lain:

Pertama : Dalam melakukan ijtihad, hendaknya seseorang telah memiliki perangkat-perangkat utama yang diperlukan dalam berijtihad. Perangkat-perangkat tersebut antara lain: harus memahami bahasa Arab, memiliki pengetahuan yang memadai mengenai al-Quran dan sunnah, ushul fikih serta memiliki keahlian dalam beristidlal. Syarat lain yang tidak kalah penting adalah agar seorang mujtahid benar-benar memahami kondisi zamannya, sehingga ia dapat menetapkan sebuah hukum yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Dengan demikian, maka seorang mujtahid tidak akan menjadi masyarakat elit yang berada di menara gading, dan keputusan hukum yang diambilnya jauh dari realitas umat, dengan istilah lain mujtahid fî wâdin dan realitas umat fî wâdin âkhar. Artinya, dalam menentukan hukum, ia tidak akan memandang sebuah kasus hanya sebagai kasus yang berdiri sendiri tanpa melihat latar belakang dan faktor-faktor penyebabnya. Ia mencontohkan hal ini dengan ijtihad Ibn Taimiyah. Pada saat Ibn Taimiyah bersama beberapa orang muridnya melewati barak tentara Tatar, beliau mendapatkan mereka sedang pesta mabuk. Tentu saja para murid Ibn Taimiyah tidak dapat menerima kenyataan ini. Akan tetapi kepada para muridnya Ibn Taimiyah berkata: “Biarkan saja mereka tenggelam dalam mabuk dan khamar. Allah telah mengharamkannya karena ia dapat
menghalangi seseorang dari dzikir dan shalat, tetapi saat ini kita lihat khamar telah menghalangi mereka dari melakukan pembunuhan dan peperangan”

2. Dalam melakukan ijtihad, hendaklah seorang mujtahid selalu independen dan tidak berada di bawah tekanan pihak manapun. Memang kode etik ijtihad tersebut sangat ideal dan menjadi kriteria untama untuk seorang mujtahid muthlak. Akan tetapi pada prakteknya, semua orang dapat melakuakn ijtihad dalam bidang tertentu yang menjadi spesialisasinya atau yang disebut dengan al-Mujtahid al-Juz’î, yaitu seseorang yang hanya berijtihad pada beberapa persoalan yang menjadi spesialisasinya saja.
Adapun kode etik yang berhubungan dengan objek ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya ijtihad yang dilakukan hanya pada wilayah-wilayah yang dzannî, baik dzannî dilâlah maupun dzannî al-Tsubît. Dengan demikian kita tidak diperkenankan untuk berijtihad pada persoalan-persoalan yang qathî, karena persoalan yang didasarkan pada dalil qath’i, bukan merupakan wilayah ijtihad.
2. Ijtihad dapat dilakukan baik dalam tema-tema yang benar-benar baru (ijtihâd insyâ’î) maupun dalam memilih pendapat yang argumennya paling kuat, paling sesuai dengan Maqâshid
al-Syarî’ah dan paling maslahat bagi umat.


b.Dalam Dunia Dakwah (Harakah Dan Shahwah Islamiyah)

Selain sebagai seorang penulis dan pemikir produktif, Qardhawi aktif pula dalam dunia dakwah (harakah dan shahwah Islamiyah). Yang dimaksud dengan shahwah adalah sebuah upaya untuk
membangkitkan umat dari keterlenaan, keterbelakangan, kejumudan dan melepaskan mereka dari konflik internal melalui berbagai wujud usaha dengan tujuan memperbaharui agama, sehingga dapat memperbaharui kehidupan dunia mereka. Pada tataran teknis, cita-cita shahwah tersebut berusaha diwujudkan dalam sebuah aktivitas harakah. Ia menyadari bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, tidak dapat dilakukan secara individual, tetapi ia membutuhkan sebuah kerja massal (‘amal jamâ’i) yang tersusun dan terprogram secara rapi.

Oleh karena hal inilah maka semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah memulai tugas berdakwah dengan bergabung bersama Ikhwan dan semenjak awal, ia telah dipersiapkan agar menjadi salah seorang kader terbaik mereka. Salah satunya adalah pada saat ia ditunjuk untuk menjadi da’i Ikhwan untuk seluruh Mesir, dari Provinsi Alexandria (Iskandariyah) sampai Aswan dan Sinai, bahkan ia pernah ditugaskan berdakwah di beberapa negara Arab seperti Suria, Libanon dan Yordania, dengan dana yang didapatkannya dari Ustadz Hasan al-Hudhaibi, Mursyid ‘âm Ikhwan yang kedua, padahal saat itu ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa.

Selain menjadi aktivis di lapangan, Qardhawi juga adalah merupakan salah seorang pemikir yang ide-idenya banyak dijadikan sebagai referensi oleh para aktivis harakah. Menurutnya, yang
dimaksud dengan harakah adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan secara kolektif dan dimulai dari masyarakat paling bawah (bottom up) dan terorganisir secara rapih dalam upaya mengembalikan masyarakat kepada ajaran Islam. Menurut Qardhawi, tujuan utama yang harus direalisasikan oleh sebuah harakah Islamiyah adalah bagaimana mewujudkan sebuah pembaharuan (tajdîd).
Melakukan tajdîd adalah merupakan sebuah sunnatullah yang akan terus berulang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan al-Hakim: “Sesunggunya pada setiap seratus tahun, Allah akan mengutus untuk umat ini, orang yang memperbaharui agamanya”. Yang dimaksudkannya dengan pembaharuan (tajdid) adalah sebuah upaya untuk memperbaharui pemahaman keagamaan, keimanan, sikap iltizam kepada agama serta memperbaharui metode dakwah yang digunakan. Ia bukanlah sebuah usaha untuk membuat aturan baru dalam agama dengan merubah prinsip-prinsip baku (tsawabit) atau merusak tatanan ajaran yang qath’i.

Adapun bidang-bidang yang harus diprioritaskan dalam memncapai tujuan tersbeut antara lain adalah: pendidikan (tarbiyah), pekerjaan politik (siyâsah), ekonomi (iqtishâdiyah), sosial (ijtimâ’iyah), media massa (wasâ’il al-‘Ilâm) dan pekerjaan ilmiah.

Kontribusi Qardahawi dalam dunia dakwah tersebut, sangat kental dengan warna Hasan al-Bana. Dalam hal ini kita dapat mengatakan, jika Ustadz al-Bana adalah merupakan pendiri (mu’assis) dan disigner harakah Ikhwan, kemudian diteruskan oleh para mursyid ‘âm lainnya, maka kemunculan Qardhawi dalam harakah ini adalah sebagai penyambung lidah dan penerus cita-cita al-Bana. Kita mengetahui bersama bahwa perjuangan al-Bana dalam membesarkan harakah tersebut telah sampai pada tahap pembentukan sebuah harakah yang terorganisir. Setelah lama berkembang, maka kemunculan Qardhawi dalam gerakan ini adalah sebagai orang yang berusaha memagari harakah tersebut.

Oleh sebab itu, karya-karya utama Qardhawi dalam bidang harakah dan shahwah Islamiyah, selalu diarahkan kepada upaya memperkokoh gerakan tersebut. Di antara karya-karyanya yang diarahkan kepada tujuan tersebut adalah al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa al-Tatharruf, al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al- Masyrû’ wa al-Tafarruq al-Madzmûm, al-Shahwah al-Islâmiyyah wa Humûm al-Wathan serta Aulawiyyât al-Harakah al-Islâmiyah fi al-Marhalah al-Qadîmah. Pada empat karya tersebut, Qardhawi berusaha keras membuat batasan-batasan etis yang harus dipegang dalam menjalankan tanggung jawab harakah, serta mengobati penyakit yang biasanya menghingapi para aktivis harakah. Menurut Qardhawi, hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang aktivis harakah Islamiyahadalah bagaimana mewujudkan sikap moderat (wasathiyah) dan menghindari sikap ekstrem (tatharruf), menghindari sikap yang terlalu mudah mengkafirkan seseorang (takfîr) serta sudah saatnya agar harakah Islamiyah membuka diri untuk berdialog dengan arus yang selama ini berseberangan dengan mereka, baik kalangan sekuler, orientalis, mereka yang berbeda agama, bahkan dialog dengan mereka yang ateis, sehingga harakah Islamiyah tidak lagi diasumsikan sebagai gerakan yang ekslusif

Satu hal yang tidak kalah penting bagi para aktivis harakah Islamiyah adalah agar mau merangkul semua kelompok yang sama-sama memiliki dedikasi untuk Islam, sehingga dalam menghadapi berbagai kekuatan dan pemikiran yang akan merusak jati diri Islam, mereka dapat
bersatu padu dalam sebuah barisan yang kokoh dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki bersama.

Pro-Kontra Seputar Pemikiran Qardhawi

Adalah merupakan salah satu sunnah Allah bahwa kehidupan manusia tidak akan ada yang mencapai kesempurnaan. Tidak ada seseorang yang ide-idenya akan selau mulus diterima tanpa reserve oleh berbagai kelompok. Begitu pula dengan usaha-usaha yang dilakuakan oleh Qardhawi, karena selain para pengagum yang selalu terperangah dengan ide-ide briliannya,ada juga kelompok lain yang harus ‘berfikir dua kali’ untuk menerima ide-idenya, bahkan ada pula yang mencurigai seluruh usahanya. Pada dasarnya kritikan yang disampaikan oleh siapa dan kepada siapa pun, akan sangat konstruktif jika dilakukan dengan cara-cara yang cerdas dan beradab, sehingga generasi yang akan datang, dapat belajar banyak dari mereka. Akan tetapi, semua itu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan umat, jika dilakukan secara emosional dan penuh kecurigaan.

Pada konteks inilah kita akan memahami pihak-pihak yang berseberangan dengan Qardhawi. Di antara para ulama yang mengkritik Qardhawi dengan ilmu dan menghargai seluruh usahanya adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani (peneliti hadits terbesar abad 20), Syaikh Abdullah bin Beh dan Syaikh Rasyid al-Ghanusi. Untuk mengkritik Qardhawi, Syaikh al-Albani, menulis sebuah buku yang berjudul Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Hadîts al-Halâl wa al-Harâm. Pada buku ini beliau berusaha meneliti (takhrîj) kesahihan hadis-hais yang digunakan Qardhawi dalam bukunya yang
berjudul al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm. Selain itu, menurut Isham Talimah, kelompok yang keras mengkritik pemikiran Qardhawi adalah mereka yang menamakan diri sebagai kaum Salafî. Ia telah menemukan ada oknum mereka yang menulis sebuah buku yang berjudul al-Qardhâwi fî al-Mîzân. Buku ini beredar luas di Sudi Arabia. Isham Talimah mengatakan, bahwa ia pernah bertanya mengenai persoalan ini kepada salah seorang pejabat Konsul Saudi Arabia di Qathar. Ternyata ia menjawab bahwa buku tersebut ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal, karena ulama-ulama Saudi sangat respek terhadap pemikiran Qardhawi. Buku ini telah dijawab dengan
ilmiah dan penuh tangung jawab oleh salah seorang mantan hakim Syari’ah Qathar, Syaikh Walid Hadi.

Sumber :
http://info-qardhawi.blogspot.com/2009/12/qardhawi-guru-umat-pada-zamannya.html

0 komentar:

Posting Komentar